MAKALAH PERANANAN AGAMA DALAM KEDEWASAAN KEPRIBADIAN
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kedewasaan
kepribadian manusia tampil atau dilihat dari ciri khas setiap individu.
Kedewasaan kepribadian manusia berbeda-beda atau memeliki keunikan antara
manusia yang satu dengan manusia yang lai. Ciri-ciri kepribadian yang dimiliki
setiap orang akan berubah dari waktu ke waktu sesuai situasi dan kondisi atau
pola perkembangannya masing-masing. Untuk mencapai kedewasaan kepribadian
menentukan waktu pendidikan dan latihan yang dilakukan secara terus menerus
sepanjang proses atau pembinaan kedewasaan kepribadian.
Adanya
ketidaksadaran manusia untuk menjadikan nilai-nilai agama sebagai landasan atau
patokan untuk mengembangkan dan menerapkan kedewasaan kepribadian manusia.
Nilai kejujuran, keadilan yang merupakan nilai-nilai agama dapat pula
mengembangkan dan merubah hidup seorang manusia menuju tingkat kedewasaan
kepribadian. Kedewasaan kepribadian dilihat dari ciri kepribadian manusia dan sudut
pandang psikologis. Selain nilai –nilai agama untuk mencapai kepribadian yang
dewasa memerlukan campur tangan dari berbagai pihak diantaranya orang tua di
lingkungan keluarga, para pendidik di lingkungan sekolah dan tokoh masyarakat
yang ada di sekitarnya. Nilai-nilai agama dapat membentuk dan mengembangkan
kedewasaan kepribadian manusia untuk
menjadikan seorang calon guru menjadi seorang guru yang mengenal profesinya
untuk membimbing mendidik, melatih, mengarahkan, dan menilai peserta didik.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian agama?
2.
Apa pengertian kepribadian?
3.
Bagaimana peranan agama dalam kedewasaan
kepribadian?
1.3
Tujuan
1.
Untuk mengetahui peranan kedewasaan kepribadian
BAB II
PERANANAN AGAMA DALAM KEDEWASAAN KEPRIBADIAN
2.1.Pengertian Agama
Agama
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata
"agama" berasal dari bahasa Sansekerta
āgama yang berarti
"tradisi".[1].
Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin
religio dan berakar pada kata kerja
re-ligare yang berarti
"mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat
dirinya kepada Tuhan.
Émile
Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu
yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang
suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus
meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang
sempurna kesuciannya
2.2.Pengertian Kepribadian
Istilah personality berasal dari kata latin “persona” yang berarti topeng atau kedok, yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh pemain-pemain panggung, yang maksudnya untuk menggambarkan perilaku, watak, atau pribadi seseorang. Bagi bangsa Roma, “persona” berarti bagaimana seseorang tampak pada orang lain.
Menurut
Agus Sujanto dkk (2004), menyatakan bahwa kepribadian adalah suatu totalitas psikofisis yang kompleks
dari individu, sehingga nampak dalam tingkah lakunya yang unik.
Pengertian Kepribadian (Personality)
Sedangkan
personality menurut
Kartini Kartono dan Dali Gulo dalam Sjarkawim (2006) adalah sifat dan tingkah
laku khas seseorang yang membedakannya dengan orang lain; integrasi
karakteristik dari struktur-struktur, pola tingkah laku, minat, pendiriran, kemampuan dan potensi yang dimiliki
seseorang; segala sesuatu mengenai diri seseorang sebagaimana diketahui oleh
orang lain.
Allport juga mendefinisikan personality
sebagai susunan sistem-sistem psikofisik yang dinamis dalam diri individu, yang
menentukan penyesuaian yang unik terhadap lingkungan. Sistem psikofisik yang
dimaksud Allport meliputi kebiasaan, sikap, nilai, keyakinan, keadaan
emosional, perasaan dan motif yang bersifat psikologis tetapi mempunyai dasar fisik
dalam kelenjar, saraf, dan keadaan fisik anak secara umum.
Dari
beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepribadian merupakan suatu
susunan sistem psikofisik (psikis dan fisik yang berpadu dan saling berinteraksi dalam mengarahkan tingkah laku) yang kompleks dan dinamis
dalam diri seorang individu, yang menentukan penyesuaian diri individu tersebut
terhadap lingkungannya, sehingga akan tampak da
2.3.Peranan Agama Dalam Kedewasaan
Kepribadian
Tidak mengherankan apabila masalah "agama" dan
keberagaman merupakan masalah yang sensitif."Bagi masyarakat kita yang
majemuk, penumbuhan kesediaan untuk saling memahami dan saling menghormati
anutan. Menurut Kathleen Blish, krisis "agama" yang sering
diperbincang-kan, disebabkan oleh berbagai perubahan yang secara kasar
digambarkan dalam ungkapan 'revolusi industri', perkembangan ilmu dan
teknologi, dan sebagainya. Iman terhadap sesuatu kebenaran tidak lagi menurut
"agama" melainkan dicapai melalui penalaran dan alasan-alasan
rasional. "Kebenaran ini, di mata seorang modern. berlawanan dengan
"agama"; kenyataannya ia kelihatannya menutup jalan untuk memahami
"agama". Di sisi lain orang berbicara tentang kebangkitan kembali
"agama-agama". Lebih-lebih ketika ada anggapan bahwa
ideologi-ideologi sekuler yang menjanjikan perbaikan nasib manusia belum juga
kunjung berhasil memenuhi janjinya, orang menoleh kembali
kepada"agama". Di kalangan"agama-agama" sendiri terasa
munculnya kegairahan baru. Ada usaha mengadakan redefinisi, reformulasi dan
reinterpretasi tentang "agama" dan relevansinya dengan kehidupan dan
tantangan yang dihadapi manusia dan masyarakat. Hal ini tidak hanya berlangsung
sendiri-sendiri di kalangan masing-masing "agama", akan tetapi juga
secara bersama-sama. Berbagai dialog di kalangan berbagai tokoh dari berbagai
"agama" yang berlangsung di berbagai tempat, baik pada tingkat lokal,
nasional, regional maupun internasional, merupakan bukti-bukti yang jelas tentang
hal itu. Kegiatan seperti ini diprakarsai oleh berbagai pihak dan tampaknya
akan berlangsung terus di masa-masa mendatang. Kecenderungan dan kesediaan
untuk saling belajar dalam dan dari kalangan berbagai "agama"
sebagaimana diperlihatkan oleh kegiatan-kegiatan dialog dan semacamnya,
haruslah dipupuk terus sehingga gejala saling curiga akan makin menyusut. Sebab
kebangkitan kesadaran ber"agama" bisa saja menimbulkan ketegangan
dalam hubungan antar kelompok berbagai "agama", lebih-lebih dalam
suatu masyarakat di mana berbagai "agama" hidup dan berkembang dalam
keadaan berdampingan dan sekaligus bersaingan. Masing-masing penganut
"agama" merasa mengemban misi luhur untuk menyampaikan kebenaran
kepada orang lain.
Tidak mengherankan apabila masalah "agama" dan
keberagaman merupakan masalah yang sensitif. Bagi masyarakat kita yang majemuk,
penumbuhan kesediaan untuk saling memahami dan saling menghormati anutan dan
keyakinan masing-masing pihak menjadi sangat penting. Hal ini merupakan
tuntutan obyektif kalau kita menginginkan agar kerukunan hidup di antara umat
berbagai "agama" tidak tinggal sebagai gagasan yang mandul dan
steril. Kemajemukan keterbukaan dan mobilitas masyarakat kita tidak
memungkinkan lagi tegak dan kokohnya tembok-tembok eksklusifisme diantara umat
berbagai "agama".
Dalam zaman teknologi
modern, manusia semakin yakin bahwa berbagai masalah dan kemelut yang dihadapi
dewasa ini, tidak mampu dijawab oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern
semata, karena keduanya mempunyai keterbatasan-keterbatasan tersendiri. Karena
itu manusia mencari kiblat dan alternatif yang lain. Di tengah gejolak dan
ketegangan antara Timur dan Barat, antara Utara dan Selatan, antara negara maju
dan negara yang sedang berkembang, berbagai "agama" menggugah kita
dengan nilai perdamaian dan cinta kasih yang menjadi suara dominan dari
berbagai "agama". Dalam rangka itu pula toleransi, tetap mendapat
porsi dalam hidup ber"agama".
2.3.2. Pendidikan Agama Dasar Pembentukan
Pribadi Menuju Kedewasaan
Perkembangan
selalu berarti defferensiasi. Artinya pada setiap tahap dari seluruh
perkembangan anak, berarti mulai adanya defferensiasi baru pada anak itu, baik
jasmaninya maupun rohaninya.hal ini nampak jelas bila kita memperhatikan
gerakan anak. Mula-mula anak kecil, menerima sesuatu dengan mengunakan kedua
tangannya, tetapi dalam perkembangannya, ia dapat menerima sesuatu itu dengan
hanya satu tangan dan dalam perkembangan selanjutnya malah hanya dengan
beberapa jarinya saja.
Demikian pula, anak yang sudah besar
dapat mengatakan: ibu, saya ingin makan nasi dengan sayur asam kacang panjang
dicampur dengan kacang tanah dan lembayung, dengan lauknya ikan asin dan
daging. Pada waktu masih kecil, ia baru dapat menngatakan: Ibu mam!.
Hal yang kedua yang perlu kita
camkan ialah bahwa setiap sesuatu fase yang dialami oleh anak, adalah merupakan
masa peralihan atau masa persiapan bagi masa selanjutnya. Setiap fase antara
anak yang satu dengan yang lain tidak sama lamanya. Inilah sebabnya mengapa
sering dikatakan bahaw tipa anak mempunyai irama perkembangannya
sendiri-sendiri.
Hal ketiga yang perlu kita ketahui
ialah bahwa perkembangan yang dialami oleh anak adalah perkembangan jasmani dan
rohani. Oleh karena itu di dalam usaha membantu perkembangan anak, orang tua
dan guru diharapkan perkembangan ini selalu dalam keseimbangan agar tidak
terjadi kelainan pada anak didik.
Hal
yang keempat, yang perlu diketahui oleh para pendidik khuususnya orang tua
ialah dalam keluarga lah anak itu berkembang. Oleh karena itu keluargaq
menduduki tempat terpenting bagi terbentuknya pribadi anak secara keseluruhan
yang akan dibawa (hasil pembentukannya itu) sepanjang hidupnya.
Dalam keluarga anak-anak itu
mendapatkan kesempatan yang banyak untuk memperoleh pengaruh perkembangannya,
yang diterimanya dengan jalan meniru, menurut, mengikuti dan mengindahkan apa
yang dilakukan, dan apa yang dikatakan oleh seluruh keluarga. Kemudian makin
lama anak makin tidak puas dengan apa yang dapat diberikan oleh keluarga, anak
memerlukan yang lebih banyak dan luas, sehingga sering ia perlu pergi juah dari
keluarganya.
Untuk mencapai tujuan itu,
seharusnyalah orang tua dan para pendidik umunya membantu dengan jalan:
- Memberikan kebebasan bergaul dengan siapapun saja dalam masyarakat, dengan mengingat norma-norma pergaulan keluarga dan sekolah.
- Mendidik anak agar memiliki rasa harga diri yang sehat, misalnya dengan jalan membiarkan anak didik berfikir sendiri, berbuat sendiri dan berpendapat sendiri. Tumbuhnya harga diri yang sehat akan membantu anak untuk menjadi warga masyarakat bahkan warga Negara yang sehat.
Dalam pergaulan dengan masyarakat,
berbagai macam pengalaman yang kita dapatkan. Dan persoalan yang timbul
karenanya, tidaklah semua sama taraf tingkatnya. Penilain kita terhadap
orang-orang itu berlain-lain sifatnya. Misalnya kita dapat mengemukakan
penilaian sebagai berikut:
- Dia kurus
- Dia mudah merasa tertekan (depresif)
- Dia gila hormat
- Dia tajam otaknya
Dengan pernilaian tersebut kita
mengemukakan beberapa sifat, yang tidak dapat dijajarkan demikian saja, karena
masing-masing merupakan aspek orang itu yang saling berlawanansatu sama
lainnya.
2.3.3.
Pentingnya Pendidikan Agama
Rumah-tangga atau keluarga adalah
tempat yang pertama dan utama bagi anak untuk memperoleh pembinaan mental dan
pembentukan kepribadian, yang kemudian ditambah dan disempurnakan oleh sekolah.
Demikian pula halnya pendidikan agama, harus dilakukan oleh orang
membiasakannya pada tingkah-laku dan akhlak yang diajarkan oleh agama. Ada masa
ini anak belum mengerti tentang akhlak-akhlak yang baik, seperti kejujuran dan
keadilan (terlalu abstrak), Untuk merealisasikannya, orang yang relevan dengan
hal tersebut, agar anak dapat meniru dengan baik. Untuk itu, orangtua harus
memberikan perlakuan yang adil serta dibiasakan pula untuk berbuat adil
sehingga rasa keadilan dapat tertanam dalam jiwanya, juga dengan nilai-nilai
agama dan kaidah-kaidah egara lainnya yang menjadi dasar untuk pembinaan mental
dan kepribadian anak itu sendiri.
Kalau pendidikan agama tidak
diberikan kepada anak sejak kecil, maka akan berakibat hal-hal sebagai berikut.
a. Tidak terdapat egara agama dalam
kepribadiannya sehingga sukar baginya untuk menerima
ajaran itu kalau ia telah dewasa;
b. Mudah melakukan segala sesuatu
menurut dorongan dan keinginan jiwanya tanpa memperhatikan egar-hukum atau
norma-norma yang berlaku.
Sebaliknya kalau dalam kepribadian seseorang terdapat
nilai-nilai dan egara-unsur agama, maka
segala keinginan dan kebutuhan dapat dipenuhi dengan cara yang wajar dan tidak
melanggar egar-hukum agama.
Sesuai dengan dasar egara kita
Pancasila, dengan sila pertamanya ke-Tuhanan Yang Maha Esa, maka kepribadian
warga egara berisi kepercayaan yang menjadi bagian dari kepribadian tidak hanya
dapat diucapkan secara lisan saja, tetapi harus disertai dengan perbuatan. Hal
ini hanya mungkin melalui pendidikan agama, karena kepercayaan bahwa Tuhan itu
ada harus disertai dengan kepercayaan kepada ajaran, egar, dan
peraturan-peraturan yang ditentukan oleh Tuhan. Dengan demikian jelaslah bahwa
semua itu menjadi dasar dalam pembinaan mental dan pembentukan kepribadian yang
akan mengatur sikap, tingkahlaku dan cara menghadapi segala problem dalam hidup.
Mengingat pentingnya pendidikan
agama bagi pembinaan mental dan akhlak anak-anak, egaraena banyak orangtua yang
tidak mengerti agama, maka pendidikan agama harus dilanjutkan di sekolah.
benar-benarjiwa agama. Oleh karena
itu, seorang guru agama harus diberi dasar-dasar pengetahuan yang kuat sehingga
dapat membedakan tingkat-tingkat perkembangan anak didik. Hal ini sangat
penting, karena dengan mengetahui tingkat-tingkat perkembangan anak didik,
seorang guru agama dengan mudah menentukan/memilih cara memberikan pengajaran
agama yang baik dengan tingkatan-tingkatan sekolah.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Berdasarkan
makalah ini penulis menyimpulkan bahwa nilai-nilai agama mempunyai peranan
penting untuk mengembangkan dan membentuk seorang manusia menuju kedewasaan
kepribadian dan menjadikan seorang calon guru yang akan menjadi guru yang
mengenal profesinya sebagai pembimbing, pendidik, pelatih, pengarah dan penilai
peserta didik
3.2.
Saran
Penulis menyarankan agar sebagai peserta didik
harus menerapkan nilai-nilai agama sebagai pedoman atau patokan hidup untuk
mendewasakan kepribadian
Comments
Post a Comment